Pelaku bisnis pertambangan, pemerintah, dan para pengamat ekonomi
sangat jeli dalam membingkai dan membungkus investasi pertambangan, baik
tambang mineral maupun minyak dan gas. Mulai dari bungkus kepentingan devisa,
penyediaan lapangan kerja, mempercepat pertumbuhan ekonomi, hingga bungkus
mengurangi angka kemiskinan. “Framming” yang begitu sempurna, akan tetapi betulkah
industri pertambangan akan membawa kemakmuran bagi rakyat disekitarnya ?
Ada sebuah olok - olok yang dilontarkan oleh kelompok pro pertambangan ketika menanggapi sikap kritis masyarakat yang menolak hadirnya industri pertambangan didaerahnya. olok - olok yang dilontarkan antara lain "Jika
tak setuju dengan pertambangan, kembali saja ke zaman batu. Juga tak usah lagi
menggunakan alat-alat yang menggunakan bahan dasar mineral". Olok - olok ini mereka lakukan sebagai bunuh diri filsafat, atas ketidakmampuan mereka menjelaskan hubungan antara pertambangan dan kemakmuran rakyat tidak pernah berkolerasi positif.
Tidak lama lagi Aceh akan memasuki fase rezim industri tambang mineral atau rezim industri keruk, menggantikan rezim hidrokarbon di Aceh Utara yang telah gagal dalam menjawab arti kemakmuran bagi rakyat Aceh. Tanda - tanda akan munculnya rezim industri tambang mineral terutama emas dan batubara telah tampak didepan mata. Depertemen kehutanan telah antri kurang lebihnya sepuluh perusahaan tambang, menunggu izin dari ahli funsi hutan untuk melakukan eksplorasi pertambangan. Di Kabupaten Nagan Raya, PT Surya Kencana telah selangkah lebih maju menapakkan kukunya untuk mengeksplorasi emas dan batubara, belum lagi di Acah Tengah dan pantai timur Aceh.
Industri pertambangan merupakan industri yang tidak berkelanjutan karena tergantung pada ketersediaan bahan baku / sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Jika kemudian kelompok pro pertmbangan begitu yakin bahwa industri tambang mineral akan membawa kemakmuran bagi masyarakat sekitar bagimana dengan dampak lingkungan yang akan diwariskan oleh industri tambang terutama setelah beroperasi ? justru akan lebih membuat masyarakat menjadi miskin.
Pengelolaan
lingkungan hidup dalam operasi pertambangan seharusnya meliputi keseluruhan
fase kegiatan pertambangan tersebut, mulai dari fase eksplorasi, fase produksi,
hingga pasca penutupan tambang. Belajar dari catatan operasi penutupan
pertambangan yang dilakukan oleh PT Barisan Tropical Mining (milik Laverton
Gold Australia) di Sumsel, PT Indo Moro Kencana (milik Aurora Gold Australia),
PT Newmont Minahasa Raya (milik Newmont Amerika Serikat), PT Kelian Equatorial
Mining (milik Rio Tinto Inggris-Australia). Seharusnya Aceh telah bersiap diri
dan banyak belajar dari kasus-kasus pertambangan di wilayah lain di Indonesia. ( Sumber : http://dewagumay.wordpress.com )
Warisan Industri Pertambangan
Industri pertambangan pada pasca beroperasi akan meninggalkan banyak warisan yang berbahaya dalam jangka waktu yang panjang, Warisan itu antara lain : Lubang Tambang ( PIT ), Air Asam Tambang ( Acid Mine Drainage ), serta Tailing.
Lubang Tambang atau bisa disebut PIT adalah lubang - lubang raksasa yang ditinggalkan oleh perusahaan pertambangan yang dapat berpotensi menimbulkan dampak dalam jangka waktu yang panjang terutama terhadap kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang memiliki / mengandung berbagai jenis logam berat yang dapat merembes kedalam sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah. Akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan tambang tidak menyadari besarnya bahaya yang diakibatkan oleh merembesnya zat sisa tambang kedalam sistem air tanah.
Air Asam Tambang ( Acid Mine Drainage ) adalah Air asam tambang yang mengandung zat logam berat yang berpotensi menimbulkan bahaya yang cukup berdampak pada lingkungan sekitar dalam jangka panjang. Ketika
air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya
karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh,
pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang
2000 tahun setelahnya. Walaupun air asam tambang terbentuknya bertahun - tahun akan tetapi apabila telah terkontaminasi dengan air yang ada disekitarnya maka akan sulit untuk melakukan penanganannya.
Tailing
Tailing
dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97
persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir
sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup
mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan
arsen. Ketika masuk kedalam tubuh mahluk hidup logam-logam berat tersebut akan
terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang
membahayakan kesehatan.
Ironisnya,
tidak ada aturan di Indonesia yang mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan
proses penutupan tambang secara benar dan bertanggung jawab. Kontrak karya
pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan reklamasi,
dalam pikiran banyak pelaku industri ini adalah penghijauan atau penanaman
pohon semata. Jauh panggang dari api.
( Sumber : http://dewagumay.wordpress.com )
hei kawan, karena kita ini mahasiswa gundar, tolong ya blognya di kasih link UG di blog kamu yang berupa widget, seperti
BalasHapus- www.gunadarma.ac.id
- www.studentsite.gunadarma.ac.id dan lain lain
karna link link tersebut mempengaruhui kriteria penilaian mata kuliah soft skill